Kenaikan
Harga Rokok Hingga Rp 50.000 Per Bungkus
Geger isu kenaikan
harga rokok hingga Rp 50.000 per bungkus berawal dari penelitian Studi Pusat
Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.
Dalam tempo
dua hari, terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2016 hingga 22 Agustus 2016 isu
kenaikan harga rokok sudah 81 ribu kali dicuitkan melalui media sosial twitter.
Pro dan kontra atas kenaikan harga rokok pun memenuhi berita baik di media
sosial, media layar kaca mapun media cetak.
Tak pelak dari
gedung DPR, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf menyetujui kenaikan cukai rokok,
dengan syarat dananya dikembalikan ke sektor kesehatan, seperti hasil kajian Studi
Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok dan cukai
untuk mendanai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang populer dikenal sebagai
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Di lain
pihak, Panitia Kerja RUU Pertembakauan menilai adanya kepentingan asing dibalik
isu kenaikan harga rokok, yakni masuknya rokok elektrik yang sudah dikonsumsi
berbagai kalangan.
Menteri Tenaga
Kerja, Hanif Dakhiri berpandangan, industri rokok berkontribusi besar dalam
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan negara. Jumlah tenaga kerja
di sektor tersebut mencapai enam juta lebih pekerja, terdiri atas petani
tembakau, karyawan dan distribusi. Hanif meyakini jika wacana kenaikan harga
rokok hingga Rp 50.000 per bungkus terealisir sejumlah industri rokok (sebelum gulung
tikar) akan mengurangi produksi dan banyak tenaga kerja yang akan “di rumahkan”.